28 Oktober 2016

Sumpah

Pertama kali saya mengenal kata sumpah dalam arti yang agak konseptual adalah ketika saya duduk di bangku pesantren. Sebelumnya ada sih, tapi sumpah sumpahan. Seperti, sumpah ditembak patuih (petir). Dalam bahasa Arab, terdapat tiga huruf yang dapat digunakan untuk bersumpah, waw, baa, dan taa yang kemudian disebut huruf qasam, contohnya wallahi yang artinya demi Allah. Semenjak itu, karena sumpah melibatkan suatu yang transcendental maka bagi saya sumpah bukanlah kata sembarangan yang dapat dipermainkan begitu saja, layaknya kata sumpeh lo atau swear deh yang pernah populer di kalangan pemuda-pemudi yang memiliki genre blues. Demikian, bagi saya sumpah memiliki sakralitas dan tujuan tertentu.

Cita rasa itu sampai hari ini belum dapat saya hilangkan, begitu juga ketika mendengar kata-kata sumpah pemuda. Saya membayangkan bahwa keputusan yang disepakati pada kongres pemuda II ini bukanlah keputusan main-main, seperti keputusan Majelis Ulama Indonesia yang kemaren itu loh kisanak. Mengapa tidak? Demi sebuah cita-cita yang agung, kata-kata sumpah terpaksa digunakan. Pemuda Indonesia mesti diikat dengan sebuah pernyataan yang kokoh seperti kokohnya gedung MPR-RI dan gedung pemerintahan lainnya, biar kesannya tidak asal-asalan. Di titik ini menurut saya sumpah itu bertujuan untuk meyakinkan orang dengan ucapan. Oleh sebab itu, selama orang lain masih percaya dengan ucapan kita, sumpah tidak diperlukan.

Dalam kajian balaghah, pun saya temukan bahwa sumpah merupakan upaya terakhir untuk meyakinkan orang dengan kata-kata. Urutannya kira-kira begini, “aku rela mati untukmu”, “masa sih Uda?”, “iya, sungguh aku rela mati untukmu”, ternyata si do’i masih tidak percaya, maka sebagai upaya terakhir di sini perlu ditambahkan kata-kata sumpah “demi Tuhan, aku sungguh rela mati untukmu bebeb(k)”. Kalau sudah begini, ternyata dia masih tidak percaya maka buktikan dengan perbuatan, anda tinggal lompat ke jurang dan selesai, “sampai jumpa di surga”. Berarti kata-kata anda bagi si do’i sudah mencapai level bullshit.

Barangkali di sini lah letak pentingnya sumpah ketika itu bagi uda Yamin yang pecinya agak miring. “Sumpah” menjadi alternatif terakhir untuk dideklarasikan, ini perlu dan penting. Ketika saya lacak literatur ternyata ada bukti yang menguatkan asumsi ini, bahwa telah terjadi perundingan yang alot sebelum uda Yamin mengajukan formulasi ini dalam secarik kertas kepada Soegondo. Hingga pada akhirnya rumusan yang elegan ini disepakati bersama setelah uda Yamin menjelaskan panjang lebar. Itu dia, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yang dikultuskan menjadi “sumpah pemuda”. Ternyata uda Yamin dan kawan-kawan telah beranggapan bahwa generasi muda memang memiliki peranan yang penting.

Itu dulu, terkadang akan sangat dilematis ketika kita harus membandingkan dulu dengan sekarang. Sama seperti membandingkan Muhammad dan Jokowi, bagi yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad yang pantas memimpin Indonesia saat ini. Pasalnya jelas konteks kultural dan sosio-politis sudah jauh berbeda. Jadi, saya sangsi bahwa spirit uda Yamin dan kawan-kawan juga bersemayam dalam jiwa generasi muda hari ini. Jangankan untuk menanyakan bagaimana pendapat mereka tentang sumpah pemuda, ketika ditanya kapan diperingati saja sudah banyak yang tidak tahu. Kalau tidak percaya monggo ditanyakan bagi yang muda di sekitarmu vroh.!! Mudah-mudahan tidak sama dengan beberapa orang teman yang saya tanyakan. Amin..!

Meskipun demikian, di sini saya tidak menyalahkan generasi muda. Bagi saya, sebenarnya tidak penting juga untuk mengingat hari sumpah pemuda ini. Apalagi untuk mengucapkannya kembali dengan suara lantang. Justru akan lebih menjadi soal jika diikrarkan lalu tidak dikerjakan. Itu dia bullshit tadi. Kalau kata Titiek Puspa dalam sebuah lagunya “kau yang berjanji kau yang mengingkari”. Lagian kita memang satu bangsa kan vroh. Meskipun berbeda-beda kita tetap berada dalam satu nusa, nusa-antara. Dari pulau sini ke pulau sana sepertinya kita tidak mengalami hambatan yang berarti, kecuali kendala asap dan fulus. Kalau persoalan bahasa Slang mah tidak begitu menjadi persoalan. Meskipun di media sosial kita sering menggunakan bahasa yang gak Endonesyah banget, tapi di ranah formal kita tetap memakai bahasa yang baku. Tidak mungkin juga kita nulis surat sama Jokowi dengan menggunakan kata-kata vroh (akronim dari brother), miapah (demi apa), atau kezel (kesal).

Di sisi lain, di negeri kita sumpah itu sudah latah. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat kita mengucapkan sumpah jabatan! begitu mantap dan tegap, pakai al-Quran segala. Lalu kemudian lihat juga apa yang mereka lakukan! Maka anda akan menemukan bahwa puisi Gus Mus itu benar adanya, “di negeri amplop, amplop-amplop mengamplopi siapa saja dan apa saja”. Jika anda ingin data yang lebih lengkap lihat data Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). Belum lagi kalau harus menyoal sumpah setia, sumpah sehidup semati, dan sumpah-sumpah aneh lainnya. Jangan-jangan negeri ini banyak bencana karena Tuhan merasa bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa (mendadak Ebiet G. Ade). Sebab begitu banyak kata yang tidak kita laksanakan.

Menyongsong sumpah pemuda tahun ini, ada baiknya kita berdoa saja buat penggagas sumpah pemuda, semoga jasa mereka dibalasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan ini menjadi ingatan kolektif kita, bahwa dulu pernah ada keputusan yang tidak bisa lagi kita laksanakan. Dengan alasan bahwa kita tidak mau lagi naïf menghadapi bangsa sendiri. Cukuplah kita pakai jargon “Silent is better than bullshit”. Jadi Maaf Uda Yamin, Pak Soegondo dan kawan-kawan, kami hanya ingin jujur dan sederhana.[]

Related Articles